Kamis, 26 Juni 2008

Haruskah Ikut-ikutan Jual Air Time Murah?

Banyak Radio lokal, tapi substansi siaran tidak membumi. Siaran radio yang disajikan belum menjadi kebutuhan masyarakat setempat, karena berita-berita yang disajikan bukan peristiwa-peristiwa lokal. Musik yang diputar juga lagu-lagu barat, yang kurang familier bagi pendengarnya. Tidak sedikit pula radio yang secara tidak sadar telah terjebak dengan penggunaan bahasa metropolis.

Ketika iklan nasional menurun drastis, diawali dengan resesi yang melanda tanah air tahun 1997, ditambah kenaikan harga BBM beberapa kali, selama kurun waktu 1997-2006, kini banyak radio yang mengalami kelesuan iklan, ditengah daya beli masyarakat semakin menurun. Mau tidak mau radio harus merubah strateginya dengan mulai menggalang iklan lokal.

Bagaimana radio menyusun program yang disesuaikan dengan suspek dan prospek iklan lokal. Bagaimana radio lokal mengemas iklan lokal menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah program siaran radio. Bagaimana radio membuat materi dagangan selama setahun, dengan rincian paket-paket kegiatan setiap bulan, dengan mengintegrasikan suspek dan prospek pengiklan lokal sesuai dengan tema yang dikemas. Misalnya bulan Agustus, dikemas dalam paket merdeka, dengan mulai harga iklan Rp 150 ribu untuk durasi seminggu, hingga puluhan juta untuk durasi sebulan baik on air maupun off air.

Dari pemetaan yang dilakukan, tampaknya ada kebutuhan yang sama antara radio dan pengiklan lokal. Radio butuh iklan lokal, dan sebaliknya iklan juga butuh radio lokal. Hanya saja keduanya belum bisa bertemu pada satu titik, yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak, Misalnya seorang pengusaha rumah makan padang yang setiap harinya hanya menjual 100 piring, mereka mengeluarkan investasi Rp 500 ribu untuk ongkos pembuatan dan pemasangan spanduk, serta biaya perjinannya. Dengan investasi Rp 500 ribu itu mereka hanya ingin meningkatkan usahanya dari 100 piring menjadi 200 piring. Sementara bagi radio untuk menambah konsumen 100 orang sangatlah mudah, karena hampir tiap radio memiliki 10.000-an pendengar. Maka kebutuhan kedua belah pihak inilah yang perlu disinergikan.

Dulu, iklan yang mendatangi radio, baik iklan dari perusahaan-perusahaan besar maupun agensi di daerah. Untuk menggalang iklan besar, radio tidak perlu mempromosikan kepada calon pengiklan. Sekarang, ketika daya beli masyarakat menurun, dan kue iklan menurun drastis hingga lima puluh persen, suka tidak suka, radio harus mampu mempromosikan dirinya kepada pengiklan lokal, sebagai alternatif sumber income baginya.

Radio saat ini perlu reposisi dan perlu penggarapan secara segmented. Bagi radio yang akan menggarap iklan produk-produk pertanian, hendaknya program siarannya mampu menjawab kebutuhan petani. Pendek kata radio harus mampu menjadi sahabat petani.

Mendefinisikan karakteristik pengiklan lokal ini sudah saatnya dilakukan, sehingga program siaran radio dapat disesuaikan dengan kebutuhan pengiklan lokal. Dengan terdefinisinya karakteristik iklan lokal dan paket-paket siaran yang sudah dibuat, maka pihak radio tinggal mempromosikan saja kepada calon pengiklan. Inilah perlunya wawasan marketing dalam memperkuat tim kerja sebuah radio. Kalau program ini bisa diterapkan, mungkin kekhawatiran untuk tidak kebagian kue iklan dapat direduksi, karena pada dasarnya potensi iklan lokal sangatlah besar jika digali dengan metode yang benar, dan aspek program siaran juga lebih berbobot daripada radio illegal.

Kini sudah saatnya radio lokal anggota PRSSNI Lampung untuk tidak ikut-ikutan menjual air time murah seperti yang dilakukan radio illegal. Tetapi dengan dasar-dasar program yang baik, pelayanan yang optimal, tentunya akan lebih dilirik oleh pengiklan. Terlebih lagi jika mampu mensinergikan antara program siaran radio dengan kebutuhan pengiklan. Jika hal itu dilakukan maka radio akan tetap eksis, lebih maju di tengah persaingan yang cukup ketat antar radio lokal.

Sumber : Gelombang 2004

Tidak ada komentar:

Blogger Template by Blogcrowds